A.
Definisi
Athresia Esophagus adalah
perkembangan embrionik abnormal esophagus yang menghasilkan pembentukan suatu
kantong (blind pouch), atau lumen berkurang tidak memadai yang mecegah
perjalanan makanan / sekresi dari faring ke perut.
Atresia berarti buntu, atresia
esofagus adalah suatu keadaan tidak adanya lubang atau muara (buntu), pada
esofagus (+). Pada sebagian besar kasus atresia esofagus ujung esofagus buntu,
sedangkan pada ¼ -1/3 kasus lainnya esophagus bagian bawah berhubungan dengan trakea
setinggi karina (disebut sebagai atresia esophagus dengan fistula). Kelainan
lumen esophagus ini biasanya disertai dengan fistula trakeoesofagus. Atresia
esofagus sering disertai kelainan bawaan lain, seperti kelainan jantung,
kelainan gastrointestinal (atresia duodeni atresiasani), kelainan tulang
(hemivertebrata).
Atresia Esofagus termasuk
kelompok kelainan kongenital terdiri
dari gangguan kontuinitas esofagus dengan atau tanpa hubungan persisten dengan
trachea.
B.
Epidemiologi
Atresia esofagus pertama kali
dikemukakan oleh Hirscprung seorang ahli anak dari Copenhagen pada abad 17
tepatnya pada tahun 1862 dengan adanya lebih kurang 14 kasus atresia esofagus,
kelainan ini sudah di duga sebagai suatu malformasi dari traktus
gastrointestinal.
Tahun 1941 seorang ahli bedah
Cameron Haight dari Michigan telah berhasil melakukan operasi pada atresia
esofagus dan sejak itu pulalah bahwa Atresia Esofagus sudah termasuk kelainan
kongenital yang bisa diperbaiki.
C.
Patofisiologi
Janin dengan atresia esofagus tidak
dapat menelan cairan amnion dengan efektif. Pada janin dengan atresia esofagus
dan TEF distal, cairan amnion akan mengalir menuju trakea, ke fistula kemudian
menuju usus.
Neonatus dengan atresia esofagus
tidak dapat menelan dan menghasilkan banyak air liur. Pneumonia aspirasi dapat
terjadi bila terjadi aspirasi susu, atau liur. Apabila terdapat TEF distal,
paru-paru dapat terpapar asam lambung. Udara dari trakea juga dapat mengalir ke
bawah fistula ketika bayi menangis, atau menerima ventilasi. Hal ini dapat
menyebabkan perforasi gaster akut yang sering kali mematikan. Trakea juga
dipengaruh oleh gangguan embriologenesis
pada atresia esofagus. Membran trakea seringkali melebar dengan bentuk D, bukan
C seperti biasa. Perubahan ini menyebabkan kelemahan sekunder pada stuktur
anteroposterior trakea atau trakeomalacia. Kelemahan ini akan menyebabkan
gejala batuk kering dan dapat terjadi kolaps parsial pada eksirasi penuh.
Sekret sulit untuk dibersihkan dan dapat menjurus ke pneumonia berulang. Trakea
juga dapat kolaps secara parsial ketika makan, setelah manipulasi, atau ketika
terjadi refluks gastroesofagus; yang dapat menjurus ke kegagalan nafas;
hipoksia, bahkan apnea.
D.
Etiologi
Sampai saat ini belum diketahui zat
teratogen apa yang bisa menyebabkan terjadinya kelainan Atresia Esofagus, hanya
dilaporkan angka rekuren sekitar 2 % jika salah satu dari saudara kandung yang
terkena. Atresia Esofagus lebih berhubungan dengan sindroma trisomi 21,13 dan
18 dengan dugaan penyebab genetik.
Namun saat ini, teori tentang tentang
terjadinya atresia esofagus menurut sebagian besar ahli tidak lagi berhubungan dengan kelainan
genetik Perdebatan tetang proses embriopatologi masih terus berlanjut, dan
hanya sedikit yang diketahui.
E.
Klasifikasi
1.
Atresia
Esofagus dengan fistula trakheooesophageal distal ( 86% Vogt 111.grossC)
Merupakan gambaran yang paling sering pada proksimal esofagus, terjadi dilatasi
dan penebalan dinding otot berujung pada mediastinum superior setinggi vetebra
thoracal III/IV. Esofagus distal (fistel), yang mana lebih tipis dan sempit,
memasuki dinding posterior trakea
setinggi carina atau 1-2 cm diatasnya. Jarak antara esofagus proksimal yang
buntu dan fistula trakheooesofageal distal bervariasi mulai dari bagian yang
overlap hingga yang berjarak jauh .
2. Esofagus distal dan proksimal benar-benar berakhir tanpa hubungan dengan Esofagus
terisolasi tanpa fistula ( 7%, Vogg II, Gross A)
3. segmen esofagus proksimal, dilatasi dan dinding
menebal dan biasanya berakhir setinggi mediastinum posterior sekitar vetebra
thorakalis II. Esofagus distal pendek dan berakhir pada jarak yang berbeda
diatas diagframa.
4. Fistula trakheoesofagus tanpa atresia (4%,Groos
E)
5. Terdapat hubungan seperti fistula antara
esofagus yang secara anatomi cukup intak dengan trakhea. Traktus yang seperti
fistula ini bisa sangat tipis/sempit dengan diameter 3-5 mm dan umumnya berlokasi pada daerah servikal
paling bawah. Biasanya single tapi pernah ditemukan dua bahkan tiga fistula.
6. Atresia erofagus dengan fistula trakeo esofagus
proksimal (2%. Vogt III & Gross B).
7. Gambaran kelainan yang jarang ditemukan namun
perlu dibedakan dari jenis terisolasi. Fistula bukan pada ujung distal esofagus tapi berlokasi 1-2 cm diatas ujung dinding
depan esofagus.
8. Atresia esofagus dengan fistula trakheo
esofagus distal dan proksimal ( < 1% Vogt IIIa, Gross D).
9. Pada kebanyakan bayi, kelainan ini sering
terlewati (misdiagnosa) dan di terapi sebagai atresia proksimal dan fistula
distal. Sebagai akibatnya infeksi saluran pernapasan berulang, pemeriksaan yang
dilakukan memperlihatkan suatu fistula dapat dilakukan dan diperbaiki
keseluruhan.
F.
Gambaran
Klinis
Ada beberapa keadaan yang merupakan gejala dan
tanda atresia esofagus, antara lain:
1.
Mulut
berbuih (gelembung udara dari hidung dan mulut) dan liur selalu meleleh dari
mulut bayi
2.
Sianosis
3.
Batuk dan
sesak napas
4.
Gejala
pneumonia akibat regurgitasi air ludah dari esofagus yang buntu dan regurgitasi
cairan lambung melalui fistel ke jalan napas
5.
Perut
kembung atau membuncit, karena udara melalui fistel masuk kedalam lambung dan
usus
6.
Oliguria,
karena tidak ada cairan yang masuk
7.
Biasanya
juga disertai dengan kelainan bawaan yang lain, seperti kelainan jantung, atresia
rectum atau anus.
G.
Diagnosis
Diagnosa dari atresia esofagus / fistula
trakheoesofagus bisa ditegakkan sebelum bayi lahir. Salah satu tanda awal dari
atresia esofagus diketahui dari pemeriksaan USG prenatal yaitu polihidramnion,
dimana terdapat jumlah cairan amnion yang sangat banyak. Tanda ini bukanlah
diagnosa pasti tetapi jika ditemukan
harus dipikirkan kemungkinan atresia esofagus.
Diagnosa Atresia Esofagus dicurigai pada masa
prenatal dengan penemuan gelembung perut (bubble stomach) yang kecil atau tidak
ada pada USG setelah kehamilan 18 minggu. Secara keseluruhan sensifitas dari
USG sekitar 42 %. Polihidraminon sendiri merupakan indikasi yang lemah dari
Atresia Esofagus (insiden 1%). Metoda yang tersedia untung meningkatkan angka diagnostik prenatal termasuk pemeriksaan
ultrasound pada leher janin untuk menggambarkan “ujung buntu” kantong atas dan
menilai proses menelan janin dari MRI
Bayi baru lahir dengan ibu polihidramnion
seharusnya memperlihatkan selang nasogastris yang dapat lewat segera setelah
kelahiran untuk menyingkirkan atresia esofagus. Bayi dengan Atresia Esofagus
tidak mampu menelan saliva dan ditandai dengan saliva yang banyak, dan
memerlukan suction berulang. Pada fase ini tentu sebelumnya makan untuk pertamakali, kateter bore yang kaku
harus dapat melewati mulut hingga esofagus. Pada Atresia Esofagus, kateter
tidak bisa lewat melebihi 9-10 cm dari alveolar paling bawah. Rongent dada dan
abdomen memperlihatkan ujung kateter tertahan. Disuperior mediatinum (T2-4),
sementara gas pada perut & usus menunjukkan adanya fistula trakheoesofagus
distal. Tidak adanya gas gastro intestinal menunjukkan atresia esofagus yang
terisolasi.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan
hasil pemeriksaan berikut:
1.
Memasukkan
selang nasogastrik
2.
Rontgen esofagus
menunjukkan adanya kantong udara dan adanya udara di lambung serta usus.
H.
Penatalaksanaan
Atresia merupakan kasus gawat darurat.
Prabedah, penderita seharusnya ditengkurapkan untuk mengurangi kemungkinan isi
lambung masuk ke paru-paru. Kantong esofagus harus secara teratur dikosongkan
dengan pompa untuk mencegah aspirasi sekret. Perhatian yang cermat harus
diberikan terhadap pengendalian suhu, fungsi respirasi, dan pengelolaan anomali
penyerta.
1. Penatalaksanaan Medis
Pengobatan dilakukan dengan operasi.
2. Penatalaksanaan Keperawatan
Sebelum dilakukan operasi, bayi
diletakkan setengah duduk untuk mencegah terjadinya regurgitasi cairan lambung
kedalam paru. Cairan lambung harus sering diisap untuk mencegah aspirasi. Untuk
mencegah terjadinya hipotermia, bayi hendaknya dirawat dalam incubator agar
mendapatkan lingkungan yang cukup hangat. Posisinya sering di ubah-ubah,
pengisapan lender harus sering dilakukan. Bayi hendaknya dirangsang untuk
menangis agar paru berkembang.
Pendekatan Post Operasi
Segera setelah operasi pasien dirawat di NICU
dengan perawatan sebagai berikut :
1.
Monitor
pernafasan ,suhu tubuh, fungsi jantung dan ginjal
2.
Oksigen
perlu diberikan dan ventilator pernafasan dapat diberi jika dibutuhkan.
3.
Analgetik diberi jika dibutuhkan
4.
Pemeriksaan
darah dan urin dilakukan guna mengevaluasi keadaan janin secara keseluruhan
5.
Pemeriksaan
scaning dilakukan untuk mengevalausi fungsi esofagus
6.
Bayi
diberikan makanan melalui tube yang terpasang lansung ke lambung (gastrostomi)
atau cukup dengan pemberian melalui intravena sampai bayi sudah bisa menelan
makanan sendiri.
7.
Sekret
dihisap melalui tenggorokan dengan slang nasogastrik.
Perawatan di rumah sakit lebih kurang 2 minggu
atau lebih, tergantung pada terjadinya komplikasi yang bisa timbul pada kondisi
ini. Pemeriksaan esofagografi dilakukan pada bulan kedua, ke enam, setahun
setelah operasi untuk monitor fungsi esofagus.
I.
Komplikasi
Komplikasi-komplikasi yang bisa timbul setelah
operasi perbaikan pada atresia esofagus dan fistula atresia esophagus adalah
sebagai berikut :
1.
Dismotilitas esophagus.
Dismotilitas terjadi karena kelemahan otot
dingin esophagus. Berbagai tingkat dismotilitas bisa terjadi setelah operasi
ini. Komplikasi ini terlihat saat bayi sudah mulai makan dan minum.
2. Gastroesofagus refluk.
Kira-kira 50 % bayi yang menjalani operasi ini
kana mengalami gastroesofagus refluk pada saat kanak-kanak atau dewasa, dimana
asam lambung naik atau refluk ke esophagus. Kondisi ini dapat diperbaiki dengan
obat (medical) atau pembedahan.
3.
Trakeo esogfagus fistula berulang.
Pembedahan ulang adalah terapi untuk keadaan
seperti ini.
4.
Disfagia atau kesulitan menelan.
Disfagia adalah tertahannya makanan pada tempat
esophagus yang diperbaiki. Keadaan ini dapat diatasi dengan menelan air untuk
tertelannya makanan dan mencegah terjadinya ulkus.
5.
Kesulitan bernafas dan tersedak.
Komplikasi ini berhubungan dengan proses
menelan makanan, tertaannya makanan dan saspirasi makanan ke dalam trakea.
6.
Batuk kronis.
Batuk merupakan gejala yang umum setelah
operasi perbaikan atresia esophagus, hal ini disebabkan kelemahan dari trakea.
7.
Meningkatnya infeksi saluran pernafasan.
Pencegahan keadaan ini adalah dengan mencegah
kontakk dengan orang yang menderita flu, dan meningkatkan daya tahan tubuh
dengan mengkonsumsi vitamin dan suplemen.